Selasa, 18 Januari 2011

Koruptor, Penjara, dan Malam Pertama


                Pada suatu malam, seorang lelaki yang lebih pengalaman hendak menjelaskan bagaimana semestinya aktivitas malam pertama dilaksanakan. Maka kedua pengantin baru itu pun beranalogi.
                “Begini Dik, anggap saja “kepunyaan” abang ini adalah seorang koruptor. Dan “kepunyaan” adik itu adalah penjara. “ ucap sang lelaki sambil tertawa kecil.
                “Lalu?” tanya si istri bingung
                “Adik tahu, bagaimana seharusnya koruptor diapakan?”
                “Koruptor itu, semestinya dimasukin ke kepenjara dong, Bang…!”
                “Pintar! Nah, aktivitas itulah yang akan kita lakukan di malam pertama ini. Ayo…kita masukkan koruptor ke penjara.” Ucap pengantin lelaki sambil tertawa lebar.
                Singkat kata singkat cerita, selesailah sudah aktivitas malam pertama yang dilakukan pasangan pengantin berbahagia itu. Dan…saat lelakinya merasa kelelahan, sang istri malah sebaliknya.
                “Abang…lihat koruptornya lari dari penjara! Ia ke Bali!” kata istrinya lembut sambil menggoda.
                “Apa yang harus kita lakukan, Dik?” balas sang suami dengan perasaan senang, karena istrinya sudah ketagihan.
“Ayo Bang…masukkan lagi koruptornya ke penjara…!”
Singkat kata singkat cerita,  selesai sudah aktivitas ke-2 di malam pertama yang dilakukan pasangan berbahagia itu. Dan…saat lelakinya merasa kelelahan, sang istri malah ketagihan.
                “Abang….! Koruptornya lari lagi dari penjara! Ia ke macau…! Ayo kita masukkan lagi koruptornya ke penjara!” teriak sang istri sambil terengah-engah.
                “Hahahahaha…koruptornya lari lagi? Ayo Dik….koruptornya kita masukkan lagi ke penjara! Hajaaaarrrr…..!”
Singkat kata singkat cerita, selesai sudah aktivitas ke-3 di malam pertama yang dilakukan pasangan berbahagia itu. Dan…saat lelakinya merasa amat sangat kelelahan, sang istri malah makin ketagihan.
                “Abang…! Koruptornya lari lagi Ke Thailand…! Ayo cepat masukkin lagi ke penjara!”
Sambil berkeringat dan tak lagi mampu bergerak. sang suami lantas berkata, “Adik,sudahlahhh….biarkan koruptor itu lepas. Koruptor itu tidak dihukum seumur hidup, kok…!”


     

Minggu, 16 Januari 2011

Tokoh Lintas Agama VS Sang Raja


Konon di suatu masa, tinggallah seorang raja yang dicintai rakyatnya. Raja tersebut dicintai karena sosoknya yang gagah, pembawaannya yang tenang, dan tampak kharismatik sekali.

“Ah, dengan memiliki seorang raja seperti itu, tidak hidup sejahtera pun saya bangga. Bangga karena bila ia bersanding dengan raja-raja lainnya di seluruh kerajaan di dunia, secara fisik ia tidak kalah.” Ujar salah seorang jelata sambil menatap foto raja yang sedang tersenyum gagah di kausnya.

Mayoritas rakyat mencintainya. Mayoritas rakyat memujanya. Mayoritas rakyat mengelu-ngelukannya. Dengan sososknya yang tampak kebapaan, rakyat berharap raja tersebut dapat menjadi bapak bagi seluruh rakyat di kerajaannya.

Raja tersebut menyadari kelebihannya, sangat menyadari. Karena kesadarannya itulah, raja tersebut semakin ingin meyakinkan rakyatnya, bahwa ia adalah raja yang sarat dengan kelebihan.

Seakan merasa kurang dengan kelebihan fisik yang ia miliki, raja tersebut ingin rakyat melihat dirinya dengan semua adanya. Saat berpidato kepada rakyatnya, raja tersebut menunjukkan kebolehannya berbicara menggunakan bahasa gado-gado. Raja tersebut merasa yakin bahwa dengan bahasanya tersebut, semua rakyat akan mengerti dan memahami apa yang dikatakannya. Raja tersebut lupa, bahwa ada sosok bernama Jajang Surajang di negeri ini yang tidak tamat SD, mengerutkan kening saat melihat rajanya berpidato.

Buah-buahan mewah dan mahal seperti buah apel dipertontonkan pula oleh raja bersahaja tersebut saat berpidato. Entah apa maksudnya, barangkali raja tersebut ingin menunjukkan bahwa negaranya adalah penghasil buah apel terbaik dan terbanyak di dunia.

Kata-katanya bergema…ma…ma…ma…a…a, gerak-geriknya diatur, jalannya mantap, rambutnya tak ada yang rontok dan selalu klimis, bajunya tidak ada yang harganya ratusan……lebih!     

“Lihatlah kelebihanku! Lupakanlah kekuranganku.” Begitu barangkali raja itu berbicara kepada rakyatnya.
Raja kemudian merekrut patih-patih yang piawai bersilat lidah untuk berdiri di sisinya. Patih-patih tersebut berfungsi untuk memberikan pembelaan bila rajanya diserang. Patih-patih tersebut memberikan serangan balik bila melihat ada kelemahan dari si penyerang rajanya.

Sekali rajanya diserang, efeknya luar biasa! Serangan balik selalu datang tiba-tiba dan membabi buta!
Lalu bagaimana bila rakyatnya diserang? Bila rakyatnya disiksa? Bila Rakyatnya kelaparan? Sebentar….tunda dulu saja membicarakan rakyat. Tulisan ini sedang fokus membicarakan raja! Lewat dulu rakyatnya yaaa….

 Maka, karena merasa selalu ada dusta diantara kita, karena melihat rakyat sudah meradang, padahal raja tersebut begitu dicintai dan diharapkan rakyat, mau tidak mau, suka tidak suka, benci tidak benci, para tokoh-tokoh lintas keyakinan merasa harus turun tangan.

Tokoh-tokoh tersebut yang biasanya diam, tenang, sibuk mengurusi umat, kini harus berbicara lantang. Ada apa gerangan? Bukankah yang senantiasa berbicara lantang itu para politikus dan orang-orang yang haus kekuasaan?

Ada apa gerangan? Kenapa para tokoh keyakinan itu harus turun tangan?

 “Perlu tuan ra…ra…ra….ja ketahui. Tokoh-tokoh tersebut ha…ha….ha….nyalah kaki tangan, me…me…me…me…rekalah yang ditugaskan maju terlebih dah…dah…dah…ulu, sebelum rakyat sebagai pemegang kekuasaan tu…tu….tu….run tangan.” Ujar Amis Gagap berbicara atas nama rakyat.

“Oh….Tiddak Bissaaa….” Ujar suhe menjawab Amis Gagap. 

Jumat, 14 Januari 2011

Pak Polisi, Silakan Tilang! Tapi Jangan Marahi Saya!


                Karena terburu-buru hendak mengambil buku dan kalkulator ke kosan, karena sebentar lagi UAS statistika, alhasil kawan yang saya bonceng lupa memakai helm. Ditambah pula karena memang sering melihat kawan-kawan mahasiswa lainnya dibonceng jarang memakai helm. Dengan PD nya saya memacu motor saya dan PRIIIITTTTTTT….! Polisi itu dengan wajah sangar memberhentikan saya.
                Tanpa ba-bi-bu polisi tersebut langsung memasang wajah paling sangar dengan otot-otot leher yang menegang. Dengan nada tinggi ia berbicara, “Sudah saya kasih tahu dari dulu sama mahasiswa lainnya, pakai helm!”
                Mendengar kemarahan pak polisi tersebut, tiba-tiba saya teringat jargon kepolisian “Siap melindungi dan melayani anda”. Lantas tanpa tedeng aling-aling, saya berkata, “Sabar pak, jangan marah-marah begitu! Saya mengaku salah, siap dengan konsekuensinya, kok! Tenang pak…! Saya belum pernah dapat peringatan Bapak!”
                “Ikut Saya!” ujar polisi itu dengan gaya berjalan digagah-gagahkan (seperti jalan para pendekar).
                “Kemana?” balasku dengan nada tenang dan datar.
                “Pos polisi!”
                Lalu kami berdua berjalan dengan canggung. Saya berjalan ala mahasiswa cungkring. Polisi tersebut berjalan ala pendekar yang digagah-gagahkan. Di pos, saya melihat ada polisi-polisi lainnya yang sedang berkumpul, “Assalamualaikum, selamat pagi!” Lalu di dalam pos saya kemudian mengajak polisi-polisi itu berbincang, tidak mengacuhkan polisi yang menilang saya karena dia sibuk sekali menulis surat tilang.
                “Pak, maaf…saya memang salah. Saya siap dengan resikonya. Tapi apa pantas seorang polisi memarahi saya?” tanya saya kepada polisi-polisi yang sedang mengobrol.
                “Sekarang jaman reformasi Pak. Bila ditilang, sekarang bebas memilih apakah mau bayar di Bank atau ke kejaksaan.” Balas salah satu polisi dengan nada bersahabat.
                Merasa tidak nyambung jawabannya, saya kemudian berkata lagi, “Pak, saya mengaku salah dan siap dengan segala resiko. Mau ditilang atau didenda saya siap. Tapi saya lebih senang ketika saya salah, saya tidak dimarahi, tetapi ditegur dengan sopan seperti, “Pak, maaf bapak telah melanggar. Bapak akan saya tilang. Sekarang saya minta SIM dan STNK Bapak. Bukankah polisi harus mengayomi dan ramah? Meski terhadap orang yang melanggar aturan? Maaf bila saya salah.”
                Polisi yang menilang, masih terus saja sibuk menulis tanpa ikut nimbrung dengan obrolan saya dengan teman polisinya. Sedangkan pertanyaan saya yang tadi, dijawab oleh salah satu polisi, “ini kan jaman reformasi. Bapak kuliah sekarang? Kuliah dimana? O iya, sekarang bila ada motor menggunakan knalpot bising harus ditilang. Ini ada artikelnya di koran, Pak.”
                Entah apa maksud jawaban itu. Tetapi karena surat tilang telah selesai. Sebagai rakyat kecil yang tidak berseragam saya pun lantas tersenyum ramah, dan berkata kepada polisi yang memarahi dan menilang saya, juga kepada polisi-polisi lainnya, “Sudah, Pak? Terima kasih semuanya….”
Lantas saya pun pergi sambil memberikan pesan, bahwa ramah tamah, senyum, dan bahasa tutur yang santun itu tidak harus beli. Alias Gratis. Berpahala lagi.    

Kamis, 13 Januari 2011

Kisah Seorang Gagapwan Tetapi Tidak Gagapwati

Pada suatu hari, seorang anak yang berbicara gagap terlihat sangat menyesali dirinya. B...b...beLL...iii...Pp..Pp..Er...Men. Begitu kurang lebih pelafalan fonem setiap kali ia berbicara. Selalu terbata-bata, tersendat-sendat, tergagap-gagap, terhuyung-huyung, terengah-engah, dan entahlah bila ada istilah lainnya silakan tuliskan di kolom ini (.....................................). 
            Anak itu merasa malu, minder, karena jangankan tampil di muka umum dan memiliki kawan-kawan banyak. Berbicara pun ia sulit. Sangat sulit. *Untunglah Air kini So Dekat*. Bahkan pernah pada suatu ketika, saat menaiki sebuah angkot dan hendak berkata KIRI untuk memberhentikan angkotnya. Anak tersebut tidak mampu berbicara KIRI. Yang keluar hanyalah pelafalan fonem Kkk...Kkk...Kkk...Kiiiiii.....Rrrrrii...! Alhasil, karena ketidaklancaran berbicara itu ia harus rela berjalan balik lagi sekitar 1 km ke tempat seharusnya ia berhenti.
          SD, SMP, SMA, ia dikenal sebagai anak yang gagap (betah amat). Saat memasuki dunia kampus, di Jurusan Sastra Indonesia (berbicara dan menulis adalah tuntutannya), ia begitu terpesona melihat kakak tingkatnya berorasi bergitu piawainya. Beretorika begitu lincahnya. Berdeklamasi begitu indahnya. Kasihan anak lelaki itu, ia hanya bisa meratapi diri sambil berdoa...."Ya Allah...berikanlah aku kelancaran dalam berkata-kata; fasihkanlah tuturku; aku ingin menjadi seorang pembicara yang lancer, Ya Allah.....T_T"
Saya ulangi lagi ya dengan kalimat beda tentunya. Di kelas, di Jurusan Sastra Indonesia, tentu saja ada 4 keahlian yang harus dimiliki mahasiswanya, yaitu menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Nah...lantas apa yang dilakukan anak lelaki itu dikelasnya? 
            Anak lelaki itu di kelas hanya menjadi pemerhati, pendengar, dan pengangguk yang baik-baik saja. Bersahaja sekali anak lelaki itu bukan? Ia seperti itu karena ia benar-benar malu untuk berbicara. Bahkan pada suatu hari pernah ia memberanikan diri berbicara di depan kelas hanya untuk "sekadar" bertanya. Hasilnya?
"Pp...Pp...Pp...a..! A....Kk...Kk...U....Mmm...Mmm...Mmmau Ttt....Ttnya....! Gerrrrrr......tertawalah seisi kelas.......T_T
            Lantas bagaimana cerita selanjutnya? Ya sudahlah diam saja, karena diam itu emas, diam itu sunyi, diam itu indah, diam itu berwibawa (pembelaan karena ketidakmampuan). Bagaimana nilai kuliahnya bila seperti? pasrah saja........T_T.
            Malu, getir, prihatini, menyesali, (lupakan tata bahasa) dan perasaan negatif lainnya begitu sesak di dada anak tersebut. Anak lelaki itu kadang mempertanyakan dan bermunajat kepada Tuhannya, “Ya Allah…kenapa dia bisa lancar berbicara, aku tidak? Kenapa Ya Rabb? Ya Allah…lancarkanlah tuturanku; lancarkanlah tuturanku; lancarkanlah tuturanku (sambil “sedikit” terisak-isak tentunya T_T).
            Kun fa yakun…kata Allah! Barangkali inilah jalanku, Allah tidak membuatku langsung lancar berbicara. Allah hanya memberiku jalan. Apa jalannya? Jadilah seorang guru, maka Jadilah!
            Eitttssss…guru itu dimana-mana lancar bicaranya. Mana ada guru yang gagap? Apakah aku bisa? Cobalah…kata Allah pada suatu hari, melalui hati nur’aeniku. Maka…mulailah anak gagap itu mencoba menjadi guru honorer dengan satu niat tulus ikhlas. Ingin lancar berbicara! (heu…tentu saja menjadi guru honorer itu membutuhkan niat yang ikhlas, karena tahu sendirilah perhatian pemerintah dengan guru honorer itu seperti apa? *tolong jangan berbicara ihwal uang dengan guru honorer seperti saya ya…T_T).
            Hari pertama mengajar, serasa ada HP dengan nada dering “getar” di sekujur saya plus ada lem di bibir saya.
            Hari kedua mengajar, nada dering HP itu mulai hilang. Tetapi lem di bibir masih terasa kekuatannya.
Hari ketiga mengajar, lem di bibir saya sudah mulai mongering agaknya.
            Hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya...eng….ing…eng…,tuturanku lumayan lancar. HORE….
Lantas anak lelaki itu jadi apa? Tolong bantu ya…tolong bantu ya…tolong bantu ya…Bim salabim jadi apa? Prook….prok…prok….
            Anak lelaki itu membaca,  berbicara, membaca, berbicara, akhirnya kosakata makin bertambah dan berjejal. Informasi di otak mulai naik volumenya. Berbicara pun mulai semakin lancar. Anak lelaki itu kemudian hari selain menjadi guru honorer bekerja pula di perusahaan multimedia. Dan…hohoho…di perusahaan tersebut ia dituntut untuk selalu presentasi dan berbicara, bahkan mendongeng…! Alhamdullilah, anak lelaki itu kini tampak tidak lagi merasa kesulitan untuk berbicara, berkenalan, bahkan merayu seorang perempuan yang dahulu dijauhinya, ia kini sanggup! Percayalah! Horeeee…Bim salabim jadi apa? Prook….prok…prok….^_^
            Lelaki itu kini semakin percaya diri dalam berbicara, bertutur, berkata, berwacana, beretorika, bersua, dan entahlah istilah lainnya silakan isi sendiri (………………………………….). Anak lelaki itu pun kini dengan PD nya mulai melangkah memasuki dunia pascasarjana, sebuah dunia intelektual yang menuntut mahasiswanya untuk aktif mengeluarkan gagasannya dengan berpikir, berbicara, dan menulis. Dan marilah semua pembaca budiman, dengan segala kerendahan hati, kita doakan semoga anak lelaki itu tetap istiqamah, tetap selalu ingin belajar, dan pantang menyerah dalam mengarungi dunianya.

      SIMPULAN: Karena jam kerja mulai usai, dan penulis akan segera pulang, maka simpulan dari tulisan ini adalah:

1. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11

2. Plus satu kata kunci: COBALAH!

          
   

Rabu, 12 Januari 2011

Penelitian Etnografi

Peran Intelektual



1. Intelektual
Menurut KBBI, intelektual berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih  berdasarkan ilmu pengetahuan. Mempunyai kecerdasan tinggi, cendekiawan, totalitas pengertian terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman. Bertolak dari pengertian tersebut saya dapat mengambil pemahaman bahwa semua orang dapat menjadi seorang intelektual, asalkan dia cerdas, berakal, totalitas dalam pemahaman ilmu pengetahuan tertentu. Barangkali hanya orang yang terganggu kejiwaannya saja yang tidak dapat memasuki “gerbang” intelektual. Orang biasa yang belum menjadi intelektual dapat memasuki “gerbang” intelektual tersebut dengan melakukan usaha-usaha agar dapat menjadi bagian dari pengertian yang disebutkan KBBI di atas.

2. Macam-macam Intelektual          
Semua orang dapat menjadi seorang intelektual, tetapi tidak semua orang dapat menjalankan fungsi-fungsi seorang intelektual sejati. Lantas, seperti apakah intelektual sejati itu? Sebelum menandai ciri-ciri intelektual sejati, ada baiknya saya mengemukakan dulu pembagian intelektual.
Yang pertama adalah intelektual professional. Intelektual profesioanl menurut Said adalah intelektual yang menuntut penyesuaian dengan batas-batas objektif dalam bidangnya. Intelektual profesional haruslah bijaksana dan tahu batas. Seorang intelektual bahasa, misalnya, memiliki pandangan bahwa ia hanya dapat berbicara sesuai dengan ijazah kebahasaan yang diberikan penguasa kepadanya. Bila ia diminta untuk berbicara misalnya tentang politik atau agama, ia akan menolak. Ia akan bertutur, “Maaf, itu bukan bidang saya.” Bila ia berbicara mengenai hal tidak sesuai bidangnya, para pendengar pun seakan tidak mengapresiasi meski ia memiliki wawasan mumpuni, karena itu bukanlah bidangnya. Padahal semestinya berbicara mengenai intelektual adalah berbicara mengenai ilmu dan kebebasan.
Intelektual yang kedua adalah intelektual yang dikemukakan Gramsci, yakni intelektual tradisional seperti guru, ulama, dan lainnya. Intelektual jenis ini akan terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Guru, misalnya, akan terus melakukan fungsi intelektual seperti mengajar dari generasi ke generasi. Seorang guru akan terus berusaha meluaskan ilmu pengetahuan anak didiknya sehingga kelak, siswa didiknya tersebut akan menjadi intelektual juga. Mungkin seperti gurunya, mungkin juga lebih tinggi, bahkan celakanya mungkin lebih rendah.
Intelektual ketiga adalah intelektual organik, juga dikemukakan oleh Gramsci. Intelektual macam ini bergerak langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik aktif dalam masyarakat, yakni mereka senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas pasar. Intelektual organik selalu aktif bergerak dan berbuat.
Keempat adalah intelektual “filsuf raja” seperti yang dituturkan Julien Benda. Intelektual jenis ini adalah intelektual ideal yang cinta akan ilmu pengetahuan atau seni lebih dari segalanya. Ia adalah sosok super cerdas dan berbudi luhur Benda mencontohkan sosok-sosok Newton, Plato, Aristoreles, dan filsuf serta ilmuwan besar lainnya sebagai contoh intelektual ideal ini. Berkaitan dengan jenis intelektual ini, Edward W. Said mengatakan kalsifikasi intelektual seperti ini terlalu tinggi. Jarang ada sosok yang memiliki integritas intelektual ideal semacam ini.

3. Peran Intelektual
3.1 Terasing, termarjinalkan, kritis
Julian Benda (1867-1956) dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendekiawan) menggambarkan cendekiawan yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik.
Edward lantas menambahkan, pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar tugas untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Seorang intelektual harus berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindas. Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian, tapi suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Karena itu, menurut Said, karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Semua pahlawan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Pangeran Dipenogoro, dan masih banyak lagi pahlawan lainnya adalah seorang intelektual yang tak terbantahkan. Mereka adalah sosok-sosok yang rela berjibaku dengan kekuasaan, ikhlas dengan pengasingan, dan ridha menjadi seorang yang termarjinalkan demi rakyat lemah. Atau pahlawan reformasi seperti Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Keempatnya merupakan mahasiswa yang pantas mendapat predikat intelektual cumlaude. Bukan mahasiswa-mahasiswa intelektual dengan prilaku drop out dengan menggagas kebenaran disertai kekerasan, pengrusakan, dan pemaksaan kehendak.   
Seorang intelektual boleh memiliki dan loyal terhadap kelompoknya, meski demikian hal tersebut tidak akan menyurutkan jiwa kritisnya. Barangkali karena sifatnya yang kritis seperti itulah seorang intelektual kadang dicurigai sebagai seorang yang tidak loyal terhadap kelompok. Ia mudah dicurigai, bahkan tak jarang sering berhadapan langsung dengan kawan yang sebelumnya memiliki satu pemahaman dengannya.
Contohnya pemikir dan inteletual besar Indonesia seperti Bung Hatta yang memutuskan mundur sebagai wakil Bung Karno, karena saat itu Bung Karno semakin otoriter dan memitoskan dirinya sebagai “pemimpin revolusi”. Bung Hatta tidak ragu mengkritik Bung Karno dengan cara tersebut, padahal mereka berdua pada awalnya memiliki pemahaman yang sama bahkan bersahabat. Sjahrir, Moh. Roem, M. Natsir, adalah sosok-sosok intelektual juga yang karena kekritisannya dijebloskan penjara oleh Bung Karno saat itu.

3.2 Menjadi pendobrak
            Apakah pikiran harus dihentikan? Bila jawabannya “tidak”, maka seorang intelektual haruslah konsisten. Semua dogma, ideologi, bahkan agama tidak akan dapat menghentikan pemikiran seorang intelektual. Seorang intelektual tidak akan berhenti berpikir meski pemikirannya bertentangan dengan dogma atau kepercayaan yang harusnya ia yakini. Bila ia meyakini bahwa A adalah benar, maka dengan tegas ia akan mengatakan benar apapun resikonya, seperti dihujat, dicaci-maki, dikucilkan, bahkan difatwa mati seperti yang diterima oleh Salman Rushdie, pengarang buku Satanic Verses yang difatwa mati oleh Imam Khomaeni. Dosa besar seorang intelektual adalah bila ia mengetahui kebenaran, tetapi ia takut dan tidak mau mengungkapkan kebenaran tersebut.
Dalam hal agama dan keyakinan, seperti sosok-sosok intelektual muda, terlepas dari pendapatnya yang “dianggap” menyimpang oleh sebagian masyarakat dan ulama, haruslah diapresiasi sebagai seorang intelektual. Ia adalah Ulil Absar Abdalla seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengemukakan gagasan untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam. Ia berpendapat jilbab adalah budaya, bukan syariat agama yang musti dilaksanakan oleh perempuan dewasa. Ia pun mengatakan bahwa menikah berlainan agama adalah halal. Bahkan ia berani mengemukakan pendapat yang membuat berang para ulama yaitu harus melakukan amandemen kembali tafsir Al-Quran disesuaikan dengan jaman yang terus berubah. Pendapat lainnya yang bertolak belakang dengan keyakinan umum para ulama dan masyarakat adalah seperti yang dikemukakan Prof. Siti Musdah Mulia. Ia berpendapat bahwa lesbian dan homo itu adalah halal. Sebaliknya, ia mengatakan poligami itu haram.
Seorang intelektual tidak terikat primordialisme dan agama. Seorang intelektual Muslim haruslah kritis melihat ketidakadilan yang menimpa bangsa Non Muslim seperti yang terjadi di Timor-Timur, Ethiopia, dan lainnya. Pun sebaliknya, intelektual Kristen harus pula kritis melihat tragedi yang menimpa bangsa Palestina, Afghanistan, dan lainnya. Hal tersebut dicontohkan oleh Noam Chomsky, seorang linguis sekaligus aktivis Yahudi ternama. Ia sejak awal konsisten mengkritisi begitu keras peran Amerika yang berperan ganda ketika menyikapi Israel yang menjajah bangsa Palestina. Pun sama halnya dengan Edward W. Said, seorang Kristen yang gigih membela Palestina dan meyudutkan Amerika, Israel, dan negara arab lainnya yang terdiam saat Palestina dijajah Israel.   

3.3 Oposisi kekuasaan    
            Seorang intelektual adalah oposisi kekuasaan bukan akomodasi kekuasaan. Ia berani menyurakan kebenaran meski resikonya adalah pembungkaman, teror, penculikan, dan penjara. Wiji Tukhul, seorang penyair yang diculik dan hingga kini masih misteri keberadaannya adalah seorang intelektual yang patut kita apresiasi. Arif Budiman, Soe Hok Gie, adalah seorang aktivis intelektual yang berani menyuarakan kritiknya kepada rezim kekuasaan saat itu. Budiman Sudjatmiko dan Sri Bintang Pamungkas yang sempat merasakan nikmatnya “penghargaan” penjara saat ia mengkritisi rezim orde baru, dan Amien Rais adalah tokoh-tokoh intelektual kafah yang berani berbicara saat intelektual lain terdiam. Mereka berani mengambil resiko saat intelektual yang lain pasif karena takut tidak dipromosikan jabatannya. Mereka juga berani mengatakan kebenaran dengan segala resikonya.
Penulis buku “Gurita Cikeas”, George Adi Tjondro, adalah contoh nyata saat seorang intelektual mengetahui dan meyakini sebuah kebenaran, ia akan mengungkapkan kebenaran itu dengan segala resiko. Meskipun ia harus berhadapan hokum, gugatan, yang dilakukan penguasa dan kroni-kroninya. 

4. Penutup
            Yang mesti dicermati, intelektual bukanlah orang yang memiliki posisi selalu bertentangan. Intelektual adalah sosok yang selalu menyuarakan apa yang menurutnya benar. Intelektual adalah sosok yang berani menerima resiko dari setiap ucapannya. Benar dan beraninya seorang intelektual tentu saja harus diikuti oleh kecukupan pengetahuan yang ia miliki dan kesesuaian dengan segala prilakunya. Intelektual bukan tokoh yang hanya mampu beretorika dan berwacana. Tapi harus ada manfaat dari apa yang ia wacanakan terutama bagi rakyat lemah.  
Di Indonesia peran intelektual kita saat ini seperti tidak ada gaungnya. Miskin ide-ide baru. Berbeda dengan masa lalu, ketika Sukarno dengan paham marhaenisme, ide-ide lainnya seperti pancasila, negara kepulauan, demokrasi, UUD 45 yang disusun murni demi kesejahteraan rakyat (di jaman sekarang UUD diamandemen untuk memenuhi kepentingan golongan), dan ide-ide lainnya yang dapat kita rasakan hingga kini.
Makalah bab 1 dari buku “Peran Intelektual” ini saya akhiri dengan sebuah penggalan syair Wiji Thukul yang amat terkenal itu.
Hanya ada satu kata

LAWAN!





.