Jumat, 14 Januari 2011

Pak Polisi, Silakan Tilang! Tapi Jangan Marahi Saya!


                Karena terburu-buru hendak mengambil buku dan kalkulator ke kosan, karena sebentar lagi UAS statistika, alhasil kawan yang saya bonceng lupa memakai helm. Ditambah pula karena memang sering melihat kawan-kawan mahasiswa lainnya dibonceng jarang memakai helm. Dengan PD nya saya memacu motor saya dan PRIIIITTTTTTT….! Polisi itu dengan wajah sangar memberhentikan saya.
                Tanpa ba-bi-bu polisi tersebut langsung memasang wajah paling sangar dengan otot-otot leher yang menegang. Dengan nada tinggi ia berbicara, “Sudah saya kasih tahu dari dulu sama mahasiswa lainnya, pakai helm!”
                Mendengar kemarahan pak polisi tersebut, tiba-tiba saya teringat jargon kepolisian “Siap melindungi dan melayani anda”. Lantas tanpa tedeng aling-aling, saya berkata, “Sabar pak, jangan marah-marah begitu! Saya mengaku salah, siap dengan konsekuensinya, kok! Tenang pak…! Saya belum pernah dapat peringatan Bapak!”
                “Ikut Saya!” ujar polisi itu dengan gaya berjalan digagah-gagahkan (seperti jalan para pendekar).
                “Kemana?” balasku dengan nada tenang dan datar.
                “Pos polisi!”
                Lalu kami berdua berjalan dengan canggung. Saya berjalan ala mahasiswa cungkring. Polisi tersebut berjalan ala pendekar yang digagah-gagahkan. Di pos, saya melihat ada polisi-polisi lainnya yang sedang berkumpul, “Assalamualaikum, selamat pagi!” Lalu di dalam pos saya kemudian mengajak polisi-polisi itu berbincang, tidak mengacuhkan polisi yang menilang saya karena dia sibuk sekali menulis surat tilang.
                “Pak, maaf…saya memang salah. Saya siap dengan resikonya. Tapi apa pantas seorang polisi memarahi saya?” tanya saya kepada polisi-polisi yang sedang mengobrol.
                “Sekarang jaman reformasi Pak. Bila ditilang, sekarang bebas memilih apakah mau bayar di Bank atau ke kejaksaan.” Balas salah satu polisi dengan nada bersahabat.
                Merasa tidak nyambung jawabannya, saya kemudian berkata lagi, “Pak, saya mengaku salah dan siap dengan segala resiko. Mau ditilang atau didenda saya siap. Tapi saya lebih senang ketika saya salah, saya tidak dimarahi, tetapi ditegur dengan sopan seperti, “Pak, maaf bapak telah melanggar. Bapak akan saya tilang. Sekarang saya minta SIM dan STNK Bapak. Bukankah polisi harus mengayomi dan ramah? Meski terhadap orang yang melanggar aturan? Maaf bila saya salah.”
                Polisi yang menilang, masih terus saja sibuk menulis tanpa ikut nimbrung dengan obrolan saya dengan teman polisinya. Sedangkan pertanyaan saya yang tadi, dijawab oleh salah satu polisi, “ini kan jaman reformasi. Bapak kuliah sekarang? Kuliah dimana? O iya, sekarang bila ada motor menggunakan knalpot bising harus ditilang. Ini ada artikelnya di koran, Pak.”
                Entah apa maksud jawaban itu. Tetapi karena surat tilang telah selesai. Sebagai rakyat kecil yang tidak berseragam saya pun lantas tersenyum ramah, dan berkata kepada polisi yang memarahi dan menilang saya, juga kepada polisi-polisi lainnya, “Sudah, Pak? Terima kasih semuanya….”
Lantas saya pun pergi sambil memberikan pesan, bahwa ramah tamah, senyum, dan bahasa tutur yang santun itu tidak harus beli. Alias Gratis. Berpahala lagi.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar