Rabu, 12 Januari 2011

Peran Intelektual



1. Intelektual
Menurut KBBI, intelektual berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih  berdasarkan ilmu pengetahuan. Mempunyai kecerdasan tinggi, cendekiawan, totalitas pengertian terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman. Bertolak dari pengertian tersebut saya dapat mengambil pemahaman bahwa semua orang dapat menjadi seorang intelektual, asalkan dia cerdas, berakal, totalitas dalam pemahaman ilmu pengetahuan tertentu. Barangkali hanya orang yang terganggu kejiwaannya saja yang tidak dapat memasuki “gerbang” intelektual. Orang biasa yang belum menjadi intelektual dapat memasuki “gerbang” intelektual tersebut dengan melakukan usaha-usaha agar dapat menjadi bagian dari pengertian yang disebutkan KBBI di atas.

2. Macam-macam Intelektual          
Semua orang dapat menjadi seorang intelektual, tetapi tidak semua orang dapat menjalankan fungsi-fungsi seorang intelektual sejati. Lantas, seperti apakah intelektual sejati itu? Sebelum menandai ciri-ciri intelektual sejati, ada baiknya saya mengemukakan dulu pembagian intelektual.
Yang pertama adalah intelektual professional. Intelektual profesioanl menurut Said adalah intelektual yang menuntut penyesuaian dengan batas-batas objektif dalam bidangnya. Intelektual profesional haruslah bijaksana dan tahu batas. Seorang intelektual bahasa, misalnya, memiliki pandangan bahwa ia hanya dapat berbicara sesuai dengan ijazah kebahasaan yang diberikan penguasa kepadanya. Bila ia diminta untuk berbicara misalnya tentang politik atau agama, ia akan menolak. Ia akan bertutur, “Maaf, itu bukan bidang saya.” Bila ia berbicara mengenai hal tidak sesuai bidangnya, para pendengar pun seakan tidak mengapresiasi meski ia memiliki wawasan mumpuni, karena itu bukanlah bidangnya. Padahal semestinya berbicara mengenai intelektual adalah berbicara mengenai ilmu dan kebebasan.
Intelektual yang kedua adalah intelektual yang dikemukakan Gramsci, yakni intelektual tradisional seperti guru, ulama, dan lainnya. Intelektual jenis ini akan terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Guru, misalnya, akan terus melakukan fungsi intelektual seperti mengajar dari generasi ke generasi. Seorang guru akan terus berusaha meluaskan ilmu pengetahuan anak didiknya sehingga kelak, siswa didiknya tersebut akan menjadi intelektual juga. Mungkin seperti gurunya, mungkin juga lebih tinggi, bahkan celakanya mungkin lebih rendah.
Intelektual ketiga adalah intelektual organik, juga dikemukakan oleh Gramsci. Intelektual macam ini bergerak langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik aktif dalam masyarakat, yakni mereka senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas pasar. Intelektual organik selalu aktif bergerak dan berbuat.
Keempat adalah intelektual “filsuf raja” seperti yang dituturkan Julien Benda. Intelektual jenis ini adalah intelektual ideal yang cinta akan ilmu pengetahuan atau seni lebih dari segalanya. Ia adalah sosok super cerdas dan berbudi luhur Benda mencontohkan sosok-sosok Newton, Plato, Aristoreles, dan filsuf serta ilmuwan besar lainnya sebagai contoh intelektual ideal ini. Berkaitan dengan jenis intelektual ini, Edward W. Said mengatakan kalsifikasi intelektual seperti ini terlalu tinggi. Jarang ada sosok yang memiliki integritas intelektual ideal semacam ini.

3. Peran Intelektual
3.1 Terasing, termarjinalkan, kritis
Julian Benda (1867-1956) dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendekiawan) menggambarkan cendekiawan yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik.
Edward lantas menambahkan, pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar tugas untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Seorang intelektual harus berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindas. Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian, tapi suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Karena itu, menurut Said, karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Semua pahlawan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Pangeran Dipenogoro, dan masih banyak lagi pahlawan lainnya adalah seorang intelektual yang tak terbantahkan. Mereka adalah sosok-sosok yang rela berjibaku dengan kekuasaan, ikhlas dengan pengasingan, dan ridha menjadi seorang yang termarjinalkan demi rakyat lemah. Atau pahlawan reformasi seperti Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Keempatnya merupakan mahasiswa yang pantas mendapat predikat intelektual cumlaude. Bukan mahasiswa-mahasiswa intelektual dengan prilaku drop out dengan menggagas kebenaran disertai kekerasan, pengrusakan, dan pemaksaan kehendak.   
Seorang intelektual boleh memiliki dan loyal terhadap kelompoknya, meski demikian hal tersebut tidak akan menyurutkan jiwa kritisnya. Barangkali karena sifatnya yang kritis seperti itulah seorang intelektual kadang dicurigai sebagai seorang yang tidak loyal terhadap kelompok. Ia mudah dicurigai, bahkan tak jarang sering berhadapan langsung dengan kawan yang sebelumnya memiliki satu pemahaman dengannya.
Contohnya pemikir dan inteletual besar Indonesia seperti Bung Hatta yang memutuskan mundur sebagai wakil Bung Karno, karena saat itu Bung Karno semakin otoriter dan memitoskan dirinya sebagai “pemimpin revolusi”. Bung Hatta tidak ragu mengkritik Bung Karno dengan cara tersebut, padahal mereka berdua pada awalnya memiliki pemahaman yang sama bahkan bersahabat. Sjahrir, Moh. Roem, M. Natsir, adalah sosok-sosok intelektual juga yang karena kekritisannya dijebloskan penjara oleh Bung Karno saat itu.

3.2 Menjadi pendobrak
            Apakah pikiran harus dihentikan? Bila jawabannya “tidak”, maka seorang intelektual haruslah konsisten. Semua dogma, ideologi, bahkan agama tidak akan dapat menghentikan pemikiran seorang intelektual. Seorang intelektual tidak akan berhenti berpikir meski pemikirannya bertentangan dengan dogma atau kepercayaan yang harusnya ia yakini. Bila ia meyakini bahwa A adalah benar, maka dengan tegas ia akan mengatakan benar apapun resikonya, seperti dihujat, dicaci-maki, dikucilkan, bahkan difatwa mati seperti yang diterima oleh Salman Rushdie, pengarang buku Satanic Verses yang difatwa mati oleh Imam Khomaeni. Dosa besar seorang intelektual adalah bila ia mengetahui kebenaran, tetapi ia takut dan tidak mau mengungkapkan kebenaran tersebut.
Dalam hal agama dan keyakinan, seperti sosok-sosok intelektual muda, terlepas dari pendapatnya yang “dianggap” menyimpang oleh sebagian masyarakat dan ulama, haruslah diapresiasi sebagai seorang intelektual. Ia adalah Ulil Absar Abdalla seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengemukakan gagasan untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam. Ia berpendapat jilbab adalah budaya, bukan syariat agama yang musti dilaksanakan oleh perempuan dewasa. Ia pun mengatakan bahwa menikah berlainan agama adalah halal. Bahkan ia berani mengemukakan pendapat yang membuat berang para ulama yaitu harus melakukan amandemen kembali tafsir Al-Quran disesuaikan dengan jaman yang terus berubah. Pendapat lainnya yang bertolak belakang dengan keyakinan umum para ulama dan masyarakat adalah seperti yang dikemukakan Prof. Siti Musdah Mulia. Ia berpendapat bahwa lesbian dan homo itu adalah halal. Sebaliknya, ia mengatakan poligami itu haram.
Seorang intelektual tidak terikat primordialisme dan agama. Seorang intelektual Muslim haruslah kritis melihat ketidakadilan yang menimpa bangsa Non Muslim seperti yang terjadi di Timor-Timur, Ethiopia, dan lainnya. Pun sebaliknya, intelektual Kristen harus pula kritis melihat tragedi yang menimpa bangsa Palestina, Afghanistan, dan lainnya. Hal tersebut dicontohkan oleh Noam Chomsky, seorang linguis sekaligus aktivis Yahudi ternama. Ia sejak awal konsisten mengkritisi begitu keras peran Amerika yang berperan ganda ketika menyikapi Israel yang menjajah bangsa Palestina. Pun sama halnya dengan Edward W. Said, seorang Kristen yang gigih membela Palestina dan meyudutkan Amerika, Israel, dan negara arab lainnya yang terdiam saat Palestina dijajah Israel.   

3.3 Oposisi kekuasaan    
            Seorang intelektual adalah oposisi kekuasaan bukan akomodasi kekuasaan. Ia berani menyurakan kebenaran meski resikonya adalah pembungkaman, teror, penculikan, dan penjara. Wiji Tukhul, seorang penyair yang diculik dan hingga kini masih misteri keberadaannya adalah seorang intelektual yang patut kita apresiasi. Arif Budiman, Soe Hok Gie, adalah seorang aktivis intelektual yang berani menyuarakan kritiknya kepada rezim kekuasaan saat itu. Budiman Sudjatmiko dan Sri Bintang Pamungkas yang sempat merasakan nikmatnya “penghargaan” penjara saat ia mengkritisi rezim orde baru, dan Amien Rais adalah tokoh-tokoh intelektual kafah yang berani berbicara saat intelektual lain terdiam. Mereka berani mengambil resiko saat intelektual yang lain pasif karena takut tidak dipromosikan jabatannya. Mereka juga berani mengatakan kebenaran dengan segala resikonya.
Penulis buku “Gurita Cikeas”, George Adi Tjondro, adalah contoh nyata saat seorang intelektual mengetahui dan meyakini sebuah kebenaran, ia akan mengungkapkan kebenaran itu dengan segala resiko. Meskipun ia harus berhadapan hokum, gugatan, yang dilakukan penguasa dan kroni-kroninya. 

4. Penutup
            Yang mesti dicermati, intelektual bukanlah orang yang memiliki posisi selalu bertentangan. Intelektual adalah sosok yang selalu menyuarakan apa yang menurutnya benar. Intelektual adalah sosok yang berani menerima resiko dari setiap ucapannya. Benar dan beraninya seorang intelektual tentu saja harus diikuti oleh kecukupan pengetahuan yang ia miliki dan kesesuaian dengan segala prilakunya. Intelektual bukan tokoh yang hanya mampu beretorika dan berwacana. Tapi harus ada manfaat dari apa yang ia wacanakan terutama bagi rakyat lemah.  
Di Indonesia peran intelektual kita saat ini seperti tidak ada gaungnya. Miskin ide-ide baru. Berbeda dengan masa lalu, ketika Sukarno dengan paham marhaenisme, ide-ide lainnya seperti pancasila, negara kepulauan, demokrasi, UUD 45 yang disusun murni demi kesejahteraan rakyat (di jaman sekarang UUD diamandemen untuk memenuhi kepentingan golongan), dan ide-ide lainnya yang dapat kita rasakan hingga kini.
Makalah bab 1 dari buku “Peran Intelektual” ini saya akhiri dengan sebuah penggalan syair Wiji Thukul yang amat terkenal itu.
Hanya ada satu kata

LAWAN!





.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar